Menunggu Tamu //Cerpen Jusuf AN (Republika, 17 Maret 2013)

AKHIR-AKHIR ini, sebelum pukul enam pagi, sering kulihat ayah duduk di kursi rotan di beranda sembari mendengarkan berita dari radio baterai yang ia taruh di meja. Ketika loper koran tiba, ayah akan mematikan radio, lalu mulai memamah koran sambil sesekali geleng-geleng kepala. Setelah kenyang memakan berita, ia akan menenteng radionya ke dalam kamar. Dan selepas Zhuhur, ayah kembali keluar kamar, duduk di kursi beranda yang dingin dan lengang memandang nyalang ke seberang jalan dengan napas yang sesekali mendesah. Kemudian, menjelang senja ayah akan menuju ruang tengah, khusyuk menatap TV 14 inci.

“Mungkin ayah ingin beristri lagi, Mas,” ujar Lastri, adik perempuanku suatu kali.

Hus, ngawur! Ayah sudah tua, enam puluh umurnya. Lagian ayah begitu mencintai ibu. Tak mungkin ingin beristri lagi,” sanggahku.

“Ibu kan sudah meninggal, tak bakal tahu kalau ayah beristri lagi.”

“Tetapi, aku tidak senang punya ibu tiri.”

“Jika ibu tiri itu orangnya baik, kenapa tidak, Mas? Toh, ini demi kebaikan ayah.”

Mungkin Lastri benar, ayah ingin beristri lagi atau bisa jadi ia keliru. Ah, entahlah. Yang jelas, setelah pensiun ayah turun, ayah masih sering bepergian; berkunjung ke rumah-rumah tetangga dan seminggu sekali pergi ke toko buku. Sering kali ayah pulang bersama teman-temannya yang seumuran lalu ngobrol berjam-jam di ruang tamu. Tetapi, tidak untuk minggu-minggu ini. Entah sebab apa, ayah lebih senang diam di rumah, membaca koran, tiduran, dan menyaksikan berita di TV. Di ruang tengah itulah kami sering menemani ayah.

“Tuhan sebenarnya sedang memberikan peringatan kepada kita untuk mengurangi perbuatan dosa,” kata Lastri suatu kali, ketika televisi menayangkan berita gempa bumi.

“Bukankah gempa merupakan proses alam yang tak terelakkan? Tak ada kaitannya dengan dosa,” sanggahku lantang. Dan ayah, yang duduk di sebelah kami, melirikkan bola matanya yang kecokelatan, seperti terganggu dengan perdebatan kami.

Di lain waktu, ketika kami bertiga tengah menyaksikan berita pesawat terbakar, Lastri langsung menanggapinya dengan nada yang galak, “Ah, kecerobohan apa lagi ini? Pesawat rusak kenapa mesti dipaksa terbang?”

“Masalahnya bukan ceroboh atau tidak. Ini musibah, Lastri. Di mana pun musibah tidak bisa diterka. Jika musibah itu memang akan datang, tak bisa lagi ditawar. Takdir sudah telanjur diguratkan.”

“Tahulah, Mas, mana takdir yang bisa diubah dan mana yang tidak?”

Ayah yang tengah menyimak cermat berita itu mendadak berjingkat menuju beranda. Kami pun seketika menghentikan perdebatan dan merasa bersalah karena telah mengganggunya. Sementara Lastri mengganti saluran TV, aku menyusul ayah ke beranda. Di atas kursi rotan yang reyot, ayah duduk mematung dengan mata nyalang memandang ke jalan raya yang membentang di depan rumah kami.

Beberapa jenak kemudian kulihat ayah menggelengkan kepala beberapa kali, lalu bergumam sembari membetulkan posisi duduknya, “Akhir-akhir ini hampir semua berita mengabarkan petaka.”

“Iya juga sih, Yah. Sayangnya, kita sendiri hanya bisa menyaksikan dan menyaksikan tanpa tahu pasti bagaimana menghentikan petaka yang terus terjadi.” Aku duduk di sebelah ayah dibatasi sebuah meja. Ingin aku bercakap-cakap lebih banyak, barangkali bisa menemukan kegelisahan yang mengepungnya akhir-akhir ini. Dan, semoga saja bukan karena ayah ingin punya istri lagi. Tetapi sayangnya, setelah aku duduk, ayah tak berkata-kata lagi. Ia beku di kursinya, sesekali mendesah berat, entah melepaskan apa.

***

Pagi. Mendung menyimpan matahari. Seperti biasa, suara radio keras terdengar di beranda rumah menemani ayah yang duduk menanti koran langganannya tiba.

“Nanti jadi ke Bandung, Yah?” tanyaku.

“Bandung?”

Aku mengangguk. Ayah mengecilkan volume radio yang sedang menyiarkan berita banjir bandang di Jakarta.

“Ada apa di Bandung?”

Lho sekarang kan hari Minggu. Fatimah, anak Budhe Masroh, bukankah melangsungkan perkawinan besok pagi?”

“Ya, Tuhan! Dasar orang tua!” Ayah menepuk jidatnya seakan menganggap lupa adalah dosa. “Tapi, ke Bandung naik apa?” Air mukanya mendadak berubah kemerahan.

“Terserah Ayah….”

“Apa kalian tidak punya pilihan?”

“Lastri inginnya naik kereta. Kalau aku mendingan naik bus, lebih aman. Ayah sendiri?”

Ayah diam, memandangi daun-daun mahoni di pinggir jalan bergetar berjatuhan.

“Naik bus saja ya, Yah!” bujukku.

“Bus? Ah, sama saja, naik bus juga tidak menjamin bebas dari celaka. Lalu lintas semakin padat dan tak teratur.”

“Jadi?”

“Jadi apa?”

“Jadi Ayah memilih naik kereta?”

“Naik kereta lebih aman, ketimbang bus, Ayah,” sambung Lastri yang tiba-tiba muncul membawakan secangkir teh hangat dan setoples emping goreng untuk ayah. “Kemungkinan kecelakaan lebih kecil karena kereta cuma punya satu jalur dan sudah ada yang mengatur.”

“Apa kamu menutup mata dengan berita-berita akhir-akhir ini, Lastri?” Kontan aku tertegak.

“Kecelakan bus lebih sering terjadi ketimbang kereta, Mas.”

“Itu karena jumlah bus lebih banyak ketimbang kereta,” jawabku menantang.

“Nah, berarti sama-sama punya risiko.”

“Dalam kereta lebih banyak copet, tukang sapu, peng….”

Ayah tiba-tiba berjingkat ketika loper koran datang. Setelah menerima koran yang masih hangat, ia melenggang masuk ke kamar.

Selepas Zhuhur, aku dan Lastri menemui ayah yang anehnya sedang giat menyapu halaman rumah. Ketika kami bertanya kenapa siang-siang menyapu, ayah menjawab, “Sepertinya nanti sore akan ada tamu.”

Kami keheranan, tak biasanya ayah menunggu seorang tamu. “Tamu siapa, Yah?”

“Sudahlah, kalian tak perlu tahu. Yang jelas tamu itu sudah lama ayah tunggu. Ayah begitu merindukannya. Kalian saja yang berangkat. Bilang Budhe Masroh, Ayah sedang ada tamu,” tuturnya, lalu menyuruh kami untuk segera berkemas dan berangkat dengan kereta siang. Lastri tersenyum karena keinginannya naik kereta mendapat dukungan dari ayah. Sementara, aku masih belum bisa memahami keanehan ayah kali ini.

Di dalam kereta kami sibuk memperdebatkan penyebab ayah yang tak ikut. Lastri bilang, ayah sudah tua, dan perjalanan Yogya-Bandung akan membuatnya sangat lelah. Menurut Lastri, ayah telah berpura-pura menunggu tamu. “Buktinya, ayah sendiri tidak menjelaskan dengan pasti siapa tamu yang ia tunggu.”

Aku tidak setuju, sebab meski ayah sudah tua, ia masih tampak sehat kecuali saat sedang duduk seperti arca di beranda. Tapi, aku tak bisa menduga apakah ayah benar-benar menunggu tamu atau tidak.

“Atau, mungkin Ayah sedang menunggu calon istrinya,” ujar Lastri, mengentakkan dadaku.

“Itu tidak mungkin!”

“Mungkin saja. Apa Mas tidak perhatikan, wajah Ayah tampak berseri-seri waktu menyapu.”

“Itu tidak mungkin,” sanggahku lagi.

Lelah berdebat, Lastri tertidur dengan kepala tergeletak di pundakku. Orang yang melihatnya pastilah akan mengira jika Lastri adalah pacarku. Sementara, aku terdiam memandang jendela, pohon-pohon berlarian. Kecemasan mencengkeram urat leherku sepanjang jalan, lebih-lebih ketika hujan turun begitu derasnya.

Di tengah kecemasanku yang akut, ketika kereta berlari menerobos gelap, mendadak sebuah SMS kuterima. Dari tetanggaku. O, betapa terkejutnya aku ketika membaca pesan itu. Kamu di mana? Rumahmu ambruk diamuk angin puting beliung. Segera kubangunkan Lastri dan mengajaknya turun di stasiun terdekat. Terlintas dalam pikiranku tentang siapa tamu yang ayah tunggu. Ah, tidak, mungkin dugaanku keliru! (*)

Tinggalkan komentar