Malaikat Bulan //Cerpen Shita Rahmawati (Republika, 10 Maret 2013)

NAMANYA Dian. Wajahnya manis dengan rambut panjang ikal tergerai. Berusia 16 tahun, masih belia dan polos. Saat seusianya, aku masih membaca manga, memanjat pohon rambutan, nonton film, dan mematut diri untuk menarik perhatian cowok cinta monyetku. Tapi, ia tak bisa pergi ke mana pun.

Beberapa bulan ini dunianya terkurung pada kamar remang seluas 2×3 meter persegi dengan perut kecil membuncit berisi janin usia tujuh bulan. Duduk sepanjang hari mengurung diri dan termangu menatap kosong. Mungkin, masih tak percaya pada tragedi yang menimpanya. Aku duduk di sampingnya, tak bicara, hanya memeluk bahu ringkihnya, berharap ia merasa kalau aku paham beratnya masalah yang harus dihadapi dara ini.

Mas Pramono mengenalkanku padanya. Ia pengacara yang mendampinginya menjalani proses persidangan. Gadis bawah umur itu korban pemerkosaan yang dilakukan pacar beserta tujuh temannya, para pemuda tanggung dan pengangguran. Seolah belum cukup perlakuan mereka yang melukai rahimnya hingga pendarahan hebat, ia pun harus menanggung malu karena mereka merekam adegan keji itu dalam handphone murahan sebagai senjata untuk memaksanya memenuhi nafsu bejat kapan pun mereka minta. Lebih celaka lagi, salah satu benih mereka tertanam lekat di rahimnya dan makin membesar seiring waktu tanpa bisa menunjuk siapa bapak si janin.

Wajahnya redup, tertutup oleh beban perut yang makin lama makin tak bisa ia samarkan dari pandangan para tetangga. Di dunia ini tak ada perawan yang melahirkan bayi tanpa campur tangan benih lelaki, kecuali Maryam, bunda Nabi Isa AS.

Senyum sinis, tudingan sebagai perempuan murahan, dan sederet praduga yang memojokkannya sebagai perempuan telah ia terima dengan lapang dada. Aku kagum, ia bertahan hidup dan tak memilih untuk bunuh diri. Entahlah, jika itu terjadi pada perempuan lain.

“Saya telah berbuat dosa, kalau saya bunuh diri takkan ada kesempatan bagi saya untuk masuk surga. Jadi, saya memang harus hidup untuk menebus kesalahan.”

Kesalahan dan dosa yang bukan tanggung jawabnya. Kesalahan yang harus ia dan janin itu kelak tanggung sepanjang hidup mereka berdua, selalu kesalahan perempuan. Tak ada perempuan yang benar dalam posisi apa pun. Saat divisum, polisi yang menanganinya mengajukan pertanyaan sarkasme tanpa rasa bersalah, “Tapi enak kan?”

Saat pertama bertemu, ia menjaga jarak. Aku hanya tersenyum dan mengenalkan diri sebagai teman Mas Pram. Ia langsung berubah sikap, lalu menyambutku hangat. “Mbak pacarnya Mas Pram?” selidiknya ingin tahu.

“Oh… bukan! Kami hanya berteman dekat. Aku bergabung di komunitas ini untuk mendampingi korban perempuan sepertimu. Mas Pram sangat bersemangat bercerita tentangmu. Menurutnya, kau perempuan hebat! Tegar dan ingin terus hidup!”

Ia tersenyum tipis. “Iya, Mas Pram sering menjenguk sambil bawa buah, katanya bagus buat orang hamil. Terkadang, saya tak percaya masih ada lelaki baik yang masih hidup selain Bapak. Apa Mbak sudah menikah?”

Aku menggeleng dan tersenyum tipis. Nyeri itu datang lagi tiap pertanyaan tentang pernikahan datang. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya lirih. Aku pun demikian. Kurasa, ia telah tahu jawaban atas pertanyaannya dan tak mengorek lukaku lebih dalam. Ia mengelus perut buncitnya.

“Saya nggak tahu siapa di antara mereka yang bapak anak ini. Bagaimana kalau ia perempuan dan suatu saat harus menikah? Siapa yang harus menjadi walinya?”

Aku mengelus pundaknya berusaha memberi kekuatan. Gadis ini telah berpikir sejauh itu. Ya, hanya hal kecil yang bisa kulakukan. Memberinya semangat. “Teknologi sekarang bisa mencari jawaban dari pertanyaanmu, Dian. Tes DNA bisa tahu bapak biologisnya. Tapi, kurasa bukan itu yang penting sekarang. Bagaimana caranya agar kamu bisa tetap sehat dan mampu melahirkan dengan selamat, itu lebih penting.

Dia menatapku dengan mata redupnya yang putus asa. “Kalau boleh jujur Mbak, saya ingin bayi ini lahir tak bernyawa. Mungkin Mbak pikir saya jahat, tapi ia akan menambah beban yang harus ditanggung Bapak yang sudah tua dan sakit-sakitan. Saya tak tega melihatnya. Tak ada yang murah dengan memelihara bayi bukan? Bayi ini juga harus tidur di mana? Lagi pula, sepanjang hidupnya akan menyandang aib. Meskipun saya tak menginginkan bayi ini, tapi saya juga tak ingin melihatnya menderita. Apa saya berdosa punya harapan itu?”

Aku tak memberi jawaban, tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku tak ingin memberinya harapan kosong, tapi memberinya jawaban realistis juga akan melukai perasaannya. “Gusti Allah, ora sare cah ayu. Allah akan memberi kita jalan. Kadang, pada detik terakhir akan ada orang baik yang akan digerak hatinya untuk membantumu. Kamu harus percaya.”

“Saya tak percaya keajaiban. Saya ingin mati bersama anak ini, tapi tak berani bunuh diri. Apa saya berdosa karena ingin mati?”

Ia tergugu dalam pelukanku. Bahunya yang kurus terguncang. Sepasang mata tua lelah dan berkeriput di ruang tengah turut mengawasi kami dalam diam. Matanya membasah, lalu diam-diam berlalu menuju teras.

Kamar lembap dan hening menjadi saksi saat kutinggalkan ia yang tertidur kelelahan karena menangis. Kutatap wajah tirusnya yang pucat. Aku berjanji untuk selalu datang menemaninya sambil membawakan buku-buku motivasi. Hanya itu yang bisa kulakukan sekarang. Perempuan tua keriput masuk ruangan. Ia menggenggam tanganku erat tanda terima kasih saat kuselipkan beberapa lembar lima puluhan buat kebutuhan Dian.

Matahari terik membakar, membuat kota pesisir ini terasa gerah. Kepalaku berputar terpanggang sinar matari saat berjalan di pematang dari rumahnya di pinggir tegalan menuju jalan raya tempat mobil terparkir di halaman sebuah surau. Hatiku kerontang meranggas terpapar kenyataan.

Terasa menyakitkan mengetahui para pelaku juga berusia sama dengan si korban. Bagaimana bisa mereka tanpa merasa berdosa memeras tubuh dan jiwa seorang perempuan dan mengoyak seluruh kehidupannya yang damai tanpa pernah meminta maaf dan masih menudingnya sebagai perempuan murahan? Aku muak! Muak semuak-muaknya!

Mobil menggerung meninggalkan tegalan gersang tempat Dian menitipkan hidup yang tak bermimpi. Buku motivasi sehebat apa pun yang kubawa takkan mampu menyembuhkan lukanya. Hanya keajaiban yang bisa membantunya. Aku percaya keajaiban tinggal sebuah kosakata dalam kamus bahasa.

***

Kesibukan membuat perhatianku teralih dari memantau Dian dan kandungannya. Aku berencana ke rumahnya dua minggu ke depan sambil membawa baju-baju bayi bekas keponakanku yang lahir setahun lalu. Mas Pram juga sibuk menangani kasus baru di Jakarta karena beratnya deal dengan para calon bapak anak Dian tentang biaya pemeliharaan. Hanya dua orang dari keluarga berada. Sisanya, sama sekali tak punya kehidupan ekonomi yang bisa diandalkan sama seperti keluarga Dian. Terbatas masa depan dan moralnya. Sungguh menyedihkan. Sore itu, Mas Pram menelepon.

“Sudah tahu kabar terakhir Dian, Dik?”

“Belum Mas, apa benar anaknya lahir lebih awal dari perkiraan bidan?”

“Belum… lebih tepatnya aku tak tahu. Ia minggat dari rumah dua hari yang lalu tanpa membawa apa pun. Keluarganya belum bisa menemukannya hingga saat ini. Ada surat permintaan maaf dan pamitan. Kita hanya berharap ia akan baik-baik saja.”

Aku lemas dan merasa bersalah. Kesibukan dan permasalahan yang membelitku menyita banyak waktu tanpa mampu kukendalikan. Terngiang kata-katanya yang ingin mati bersama si bayi. Bulu kudukku merinding. Terbayang mata redupnya yang tanpa gairah hidup juga wajah keriput ibunya saat menggenggam tanganku, menyiratkan harapan. Ini tak boleh dibiarkan. Aku harus membantu menemukan gadis malang itu. Dia tak boleh bunuh diri!

Aku menyusuri jalan, berharap menemukan sosoknya sedang berjalan di tepi jalan raya atau sedang menggelosor di taman kota. Tapi, tubuh kurus ringkih itu tak kutemukan di mana pun. Waktu bergulir, meski saat di jalan aku masih sering berharap menemukan sosoknya di antara kerumunan, akhirnya aku memutuskan menyerahkan nasibnya pada kekuatan besar di atas sana. Semoga keajaiban memang bukan hanya sebuah kosakata.

Ia membuatku kembali mengingat kosakata harapan. Harapan ia baik-baik saja, harapan ada seseorang yang baik hati akan menolongnya, harapan ia bisa mencintai anaknya. Harapan mereka berdua sehat dan bisa menjalani hidup dengan baik. Harapan mereka akan bahagia.

***

Purnama pucat dalam temaram pojok kota, kalah wibawa dibanding lampu kota. Ada perih dan nyeri tersimpan di dada. Mas Pram memutuskan untuk menikahi asistennya. Aku tahu, aku tak berhak merasa sedih, tapi sungguh aku merasa kehilangan. Ia, satu-satunya lelaki yang tak memandang aneh pada saat aku berlaku tak biasa yang kadang menakutkan banyak orang.

“Aku akan menikah tiga bulan ke depan, Lin. Ibu sudah memaksaku segera memberi cucu. Aku ingin membuat beliau bahagia karena telah berjuang keras membesarkanku. Sebenarnya… aku ingin sekali kau yang menjadi pengantinku, tapi kau selalu menjaga jarak. Menolak menjadi bagian dari hidupku. Aku mau bersamamu, tapi kamu punya misteri yang tak bisa kubuka, apalagi kamu selalu menjaga jarak dariku. Aku menyerah.”

Matanya tak bersinar terang saat mengungkap rencana pernikahannya. Mataku pun berkabut. Sekuat hati mencoba tak menangis di depannya. Aku sudah terlalu sering merasa kehilangan, satu kehilangan lagi takkan mampu mematahkan kaki untuk berdiri. Tapi, air bergulir juga menganak sungai. Ia mengambil sapu tangan dan menyeka pipiku lembut. Menatap dengan perasaan bersalah seolah sedang menodongkan sepucuk pistol untuk mengakhiri hidupku. Kupaksakan untuk tersenyum.

Tadi pagi mereka mengikat janji dan malam ini sebuah pesta meriah digelar di taman kota. Pesta kebun di malam hari yang sederhana, katanya. Selain para kolega dan kerabat, ia mengundang seluruh kliennya yang rata-rata bukan kalangan berada. Aku tahu ia mengharapkanku datang. Tapi, aku pun paham, jika diriku takkan mampu melihatnya mengenakan baju pengantin bersama orang lain. Bukannya tak pernah memperkirakan akan terjadi sebelumnya, tapi meskipun aku telah menyiapkan diri untuk sebuah lubang besar di hati, tetap saja terasa nyeri tak terperi. Aku mencintainya, menyayangi, dan mengagumi lelaki itu. Menyebutkannya dalam doa-doa panjangku di tengah malam yang sunyi. Tapi, ia berhak bahagia. Bersamaku hanya akan membuatnya lelah jiwa raga. Ia akan kehilangan potensi dan energi besarnya untuk menjadi seorang penjaga kebenaran pada negara yang telah depresi ini.

Manic depression telah menjeratku bertahun-tahun. Merenggut kebahagian dan waktu indahku. Tak seorang pun paham bagaimana menghadapiku saat serangan itu datang. Bahkan, keluargaku sendiri pun memilih untuk menyerah dan menganggapku gila. Aku pun pernah minggat dari rumah karena tak ingin membuat malu keluarga.

Apakah aku akan sanggup melihat matanya terluka saat aku sedang kambuh dan tak menyadari keberadaan diriku sendiri? Aku lebih senang sinar cinta itu tetap ada di matanya meski raganya bukan milikku daripada aku harus kehilangan seluruh perhatian, pengertian, dan rasa sayangnya karena tak lagi mampu bertahan bersamaku.

Aku berharap, hujan turun malam ini agar tak seorang pun bisa melihat mataku yang menganak sungai. Bahuku berguncang pelan. Mataku mengabur pada kerlip cahaya pesta bahagia yang diselenggarakan di seberang sana. Sebuah tangan menyentuh dari belakang. Aku tak ingin menoleh. Aku benci saat orang melihatku lemah dan terluka. “Mbak Lila ya?”

Aku kenal suara lemah dan terdengar ragu-ragu itu. Aku menoleh. Melihatnya berdiri di depanku. Masih kurus dan tirus, tapi matanya menampakkan sinar terang yang bisa kutangkap sebagai gairah hidup di tengah keremangan. Seorang bayi mungil dan sama kurus dengannya tidur terkepit dalam gendongan selendang batik Pekalongan.

“Aku tadi datang ke pesta Mas Pram. Tapi, aku kaget ternyata mempelainya bukan Mbak. Mas Pram kan lelaki baik, kok Mbak gak mau menikahi Mas Pram?”

“Kamu juga, mengapa minggat dari rumah? Dicari seluruh keluarga tuh.” Aku tak ingin menjawab pertanyaannya. Tapi, sepertinya ia paham yang kurasakan, meski tak lagi bertanya.

“Tahu nggak Mbak kalau selalu ada jawaban dari pertanyaan, sesulit apa pun. Aku minggat juga untuk mencari jawaban. Aku ingin membuktikan kalau kata-kata dalam salah satu buku yang Mbak berikan itu benar, bukan bualan. Aku pergi dari rumah bukan untuk bunuh diri atau melarikan diri dari kenyataan, meski sempat ingin mati sih he he. Mbak bilang, aku punya pe er besar, membesarkan anakku. Jadi, aku harus bekerja agar anakku punya nasib lebih baik dariku, bisa sekolah dan hidup layak. Dan, Mbak bisa lihat, ia bayi laki-laki! Ia takkan butuh bapaknya saat menikah nanti. Meski sekarang cuma pembantu, aku ingin anakku kelak jadi insinyur. Majikanku yang baik berjanji menyekolahkannya sampai besar jika aku mau bekerja terus di rumahnya. Aku sudah mendapat jawaban dari pertanyaanku. Aku yakin, Mbak juga akan segera mendapat jawaban dari pertanyaan Mbak.”

Ia tersenyum lebar, terlihat bahagia. Senyum yang tak pernah kulihat dulu. Perempuan 17 tahun ini telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu dengan kebesaran jiwa seorang petapa. Tak ada dendam dan sinar kebencian di matanya pada para pelaku. Seperti, ada seorang malaikat bersayap berdiri di hadapanku.

Aku memeluknya erat dan ia membalas lebih erat dengan tubuh ringkihnya. Seolah, sayap malaikatnya turut merengkuhku. Ya, melihatnya bahagia harapanku tumbuh lagi. Ia akan menjadi malaikat penjaga semangat hatiku kini. Bagaimana mungkin aku kalah iman, kalah bijak, kalah kuat, kalah semangat dari perempuan 17 tahun ini? Aku tak boleh patah oleh apa pun! Aku pasti bisa keluar dari manic depression ini secepatnya. Allah akan segera mengirimkan jawaban untukku. Bulan masih bersinar malam ini, tapi temaramnya terasa lebih lembut mendamaikan hati. (*)

 

 

Tinggalkan komentar